Bea Keluar Batu Bara: Kunci Pendanaan Transisi Energi Hijau 100 GW di Indonesia
Pemerintah Indonesia tengah mengkaji penerapan bea keluar (ekspor tax) untuk komoditas batu bara yang rencananya akan mulai berlaku pada tahun 2026. Kebijakan ini tidak hanya dipandang sebagai instrumen fiskal untuk menambah pundi-pundi negara, tetapi juga sebagai katalisator utama untuk mendanai program ambisius pengembangan Pembangkit Listrik Tenaga Surya (PLTS) sebesar 100 gigawatt (GW). Para pegiat lingkungan dan energi berkelanjutan optimis bahwa langkah ini dapat membuka jalan bagi kemandirian energi hijau di Indonesia.
Tata Mustaya, Direktur Eksekutif Yayasan Kesejahteraan Berkelanjutan Indonesia (Sustain), mengemukakan bahwa bea keluar batu bara memiliki potensi besar untuk mengatasi hambatan pembiayaan yang selama ini kerap membayangi upaya transisi energi. “Dengan potensi pendapatan yang dapat mencapai angka Rp 360 triliun dalam kurun waktu empat tahun ke depan, kita memiliki kesempatan emas untuk mewujudkan target 100 GW energi surya dan mengantarkan Indonesia menuju kemandirian energi hijau,” ujarnya.
Potensi Pendapatan yang Signifikan
Sebuah kajian yang dilakukan oleh Sustain, dengan menggunakan skenario paling minimal yang mengacu pada Harga Batu Bara Acuan (HBA) Oktober 2023, memperkirakan bahwa penerapan bea keluar berpotensi menghasilkan pendapatan sebesar US$5,63 miliar atau setara dengan Rp90 triliun per tahun. Jika kebijakan ini diterapkan secara konsisten selama empat tahun sisa masa pemerintahan Presiden Prabowo, total potensi pendapatan negara dapat mencapai setidaknya Rp360 triliun. Angka ini diyakini sangat memadai untuk menjadi sumber pendanaan awal bagi program pengembangan energi surya berskala masif.
Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) sendiri telah mengestimasi bahwa realisasi instalasi tenaga surya di 80.000 desa melalui Program 100 GW membutuhkan investasi yang tidak sedikit, yaitu mencapai US$100 miliar atau sekitar Rp1.600 triliun. Dengan potensi pemasukan sebesar Rp360 triliun dari bea keluar batu bara, pemerintah dapat mengalokasikan dana tersebut untuk investasi awal penerapan Program 100 GW di setidaknya 18.000 desa. Angka ini mencakup lebih dari 20% dari total seluruh desa di Indonesia, dengan target kapasitas instalasi 1 megawatt (MW) di setiap desa.
Strategi Alokasi Dana dan Desa Percontohan
Sustain menyarankan agar pemerintah dapat mengalokasikan pembiayaan ini secara strategis kepada beberapa desa percontohan. Prioritas dapat diberikan kepada desa-desa yang berada di wilayah dengan proyeksi peningkatan permintaan listrik yang tinggi, desa-desa yang belum terjangkau oleh jaringan listrik nasional, atau bahkan desa-desa yang saat ini masih bergantung pada pasokan listrik mahal yang bersumber dari generator diesel. Langkah ini akan menjadi tahap awal atau piloting yang krusial untuk kesuksesan Program 100 GW.
Tiga Pilar Utama Implementasi Kebijakan
Agar kebijakan bea keluar batu bara ini benar-benar efektif dalam mendukung agenda transisi energi, Sustain menekankan pentingnya tiga pilar utama yang harus dipastikan oleh pemerintah:
- Penetapan Bea Keluar yang Progresif dan Berkeadilan: Skema bea keluar harus dirancang sedemikian rupa agar bersifat progresif, artinya tarifnya meningkat seiring dengan kenaikan harga batu bara. Selain itu, skema ini juga harus berkeadilan, mempertimbangkan berbagai aspek agar tidak memberatkan industri secara tidak proporsional namun tetap memberikan kontribusi signifikan bagi negara.
- Pengalokasian Penerimaan Khusus (Earmarking): Pendapatan yang dihasilkan dari bea keluar batu bara harus dialokasikan secara jelas dan spesifik untuk mendanai Program 100 GW energi surya. Mekanisme earmarking ini penting untuk memastikan bahwa dana tersebut benar-benar tersalurkan untuk tujuan transisi energi dan tidak dialihkan ke pos-pos anggaran lain.
- Penguatan Koordinasi Lintas Kementerian: Implementasi kebijakan ini membutuhkan koordinasi yang kuat dan efektif antarberbagai kementerian terkait. Kementerian Keuangan, Kementerian Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM), Kementerian Investasi dan Hilirisasi, Kementerian Koperasi, serta PT PLN (Persero) harus bekerja sama secara sinergis untuk menjamin akuntabilitas dan efektivitas pelaksanaan program.
Dengan pengelolaan yang tepat dan komitmen yang kuat, bea keluar batu bara berpotensi menjadi fondasi finansial yang kokoh untuk mempercepat realisasi energi terbarukan di Indonesia, sekaligus membawa negara ini selangkah lebih dekat menuju masa depan energi yang bersih dan berkelanjutan.
