KORAN-PIKIRAN RAKYAT – Kementerian Ketenagakerjaan (Kemenaker) merilis data terbaru pemutusan hubungan kerja (PHK) periode Januari-Oktober 2025. Berdasarkan situs Satudata Kemenaker, angka PHK pada periode tersebut mencapai 70.244 orang. Provinsi Jawa Barat masih menjadi penyumbang terbesar dengan angka PHK mencapai 15.657 orang atau mencakup 22,29% dari total PHK.
Laman Satudata Kemenaker itu menjelaskan, jumlah itu merupakan angka PHK yang dilaporkan. Rincian data PHK di Jabar paling banyak terjadi pada bulan Februari 2025 yakni sebanyak 3.973 orang.
Hampir setiap bulan dalam periode tersebut, jumlah PHK di Jabar mencapai lebih dari 1.000 orang. Hanya pada bulan Oktober, jumlah PHK di Jabar yang mencapai 90 orang.
Pada bulan Januari dan Februari 2025, laman Kemenaker itu paling banyak mencatat laporan PHK. Secara kumulatif, jumlah korban PHK di Indonesia pada Januari dan Februari tersebut mencapai lebih dari 28.000 orang.
Kepala Bidang Hubungan Industrial Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi (Disnakertrans) Jabar, Firman Desa mengatakan, secara spesifik, program pencegahan PHK di Jabar tidak ada. Hanya prinsipnya, sesuai dengan UU 13 Tahun 2003 bahwa pengusaha, serikat pekerja, dan pemerintah harus berupaya bahwa PHK adalah jalan terakhir yang dipilih.
“Kalau dari sisi hubungan industrial, salah satu langkah yang kita lakukan adalah mengaktifkan LKS bipartit dan sosial dialog,” ungkap Firman kepada “PR”, Senin 24 November 2025.
Seperti diketahui, pemerintah menyiapkan berbagai langkah untuk mencegah terjadinya gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di tengah kondisi ekonomi yang masih bergejolak. Berbagai strategi ini ditujukan untuk menjaga stabilitas ketenagakerjaan sekaligus melindungi keberlangsungan usaha di sektor-sektor terdampak.
Paparan resmi pemerintah mengungkapkan, upaya pencegahan PHK ditempuh melalui enam kelompok kebijakan utama, mulai dari pemberian subsidi hingga program peningkatan keterampilan pekerja. Salah satu langkah yang kembali diandalkan pemerintah adalah Bantuan Subsidi Upah (BSU) bagi pekerja berpenghasilan tertentu. Selain itu, industri yang mengalami tekanan juga mendapat insentif pajak serta fasilitas, bantuan modal kerja dan Kredit Usaha Rakyat (KUR) untuk menjaga arus kas tetap berjalan.
Pemerintah juga mendorong skema restrukturisasi kredit bagi dunia usaha. Perusahaan yang terpukul penurunan permintaan didorong menerapkan efisiensi non-PHK, seperti pengurangan jam kerja sementara, sistem hybrid atau WFH, hingga penyesuaian pola kerja.
Upaya lain dilakukan lewat dialog tripartit antara pemerintah, serikat pekerja, dan pengusaha. Forum ini mendorong kesepakatan alternatif agar perusahaan tidak melakukan PHK, seperti cuti bergilir, penundaan bonus, atau skema penyesuaian lainnya yang tidak merugikan tenaga kerja secara permanen.
Untuk memperkuat daya saing pekerja, pemerintah menjalankan kembali berbagai program peningkatan keterampilan. Contohnya, program Kartu Prakerja, pelatihan di balai latihan kerja (BLK), serta program reskilling untuk sektor yang menjadi prioritas transformasi ekonomi. Dalam rangka membuka lapangan kerja baru dan menjaga serapan tenaga kerja, pemerintah mengaktifkan berbagai program padat karya yang mencakup pembangunan infrastruktur desa, sektor UMKM, hingga pariwisata.
Anomali
Meski menunjukkan kenaikan laju perekonomian, tetapi tingkat pengangguran terbuka (TPT) di Jabar mengalami kenaikan. Ekonomi Jawa Barat tumbuh 5,20% secara tahunan pada kuartal III 2025, sedangkan TPT meningkat menjadi 6,77%.
Badan Pusat Statistik (BPS) Jabar mencatat, hingga Agustus 2025, jumlah pengangguran bertambah hingga 1,78 juta orang. Angka ini naik sebesar 0,02% poin dibandingkan dengan Agustus 2024 yang sebesar 6,75%.
Sekda Jabar Herman Suryatman mengatakan, kenaikan pengangguran ini dipicu oleh gelombang pemutusan hubungan kerja (PHK) di industri tekstil sepanjang tahun terakhir. Fakta ini tak terhindarkan dan menjadi tugas besar Pemprov Jabar jelang tutup tahun 2025.
Di sisi lain, Herman menuturkan, investasi yang masuk ke Jabar sangat tinggi, yakni mencapai Rp 7,1 triliun. Pemprov Jabar tengah condong mengelola investasi tersebut pada industri padat modal dan padat teknologi.
Salah satu yang paling besar adalah investasi pabrik kendaraan listrik (EV) di Kabupaten Subang. Diklaim pabrik tersebut bisa menyedot 18.000 tenaga kerja setelah aktif beroperasi.
“Untuk sektor ini, dibutuhkan tenaga kerja yang terampil dengan keahlian khusus terutama teknologi. Ini tren global bahwa teknologi mulai AI hingga blockchain harus diimbangi dengan keterampilan,” katanya.
Kepala Kantor Bank Indonesia Perwakilan Jawa Barat Muhamad Nur menambahkan, anomali situasi angka pengangguran naik dan investasi naik seperti ini bisa saja terjadi. Di tahun 2025 ini, ada beberapa yang menjadi concern terganggunya industri-industri padat karya terhadap peningkatan jumlah pengangguran.
“Namun demikian, baik dari pemerintah, provinsi, juga sektor perbankan sama-sama mendorong sektor lain yang juga padat karya. Harapannya, di akhir tahun, akan terjamin data yang lebih akurat dan angka penganggurannya turun,” ujarnya, bebera pawaktu lalu.
Situasi ini, ungkap Nur, menunjukkan pentingnya diversifikasi sumber pertumbuhan ekonomi agar tidak bergantung pada satu sektor padat karya. Pihaknya juga mendorong pemerintah daerah memperkuat sektor lain yang berpotensi besar menyerap tenaga kerja, seperti usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), pertanian, serta perkebunan.
“Banyak negara tertarik dengan produk UMKM Indonesia. Ini peluang besar untuk memperluas produksi sekaligus membuka lapangan kerja baru,” ujarnya.
Nur juga menilai penguatan pelatihan vokasi menjadi langkah strategis agar tenaga kerja siap menghadapi perubahan kebutuhan industri. Investasi kendaraan listrik sedang meningkat pesat. Karena itu, pelatihan di SMK dan lembaga vokasi perlu diarahkan agar lulusannya siap masuk ke industri tersebut. (Eva Fahas, Novianti Nurulliah)***
